Pagi Minggu, 26 Desember 2004 saat itu aku sedang membaca buku karena besok pada Senin, 27 Desember akan ada ujian semester di sekolah. Ya, saat itu aku masih kelas VII sebuah SMP favorit di Aceh Utara. Bersekolah di sini membuatku harus “”berjuang keras” karena kemampuanku jauh di bawah rata-rata anak-anak disini. Biarlah aku membaca sedikit supaya jangan pula nilaiku berada pada peringkat pertama paling bawah nantinya.

Baru beberapa helai buku kubaca, kepalaku seperti pening, aku merebahkan punggung ke dinding rumah namun dindingya juga terasa bergerak..Ah, gempa ini. Mak yang sedang di dapur setengah berteriak menyuruhku segera keluar rumah, buku yang baru beberapa detik lalu ku baca pun jatuh ke lantai dari meja, semen kasar bekas plasteran di tuas pintu copot seperti kriuk tepung ayam fried chicken bertaburan. Aku segera keluar rumah

Di halaman sudah ada ayah dan paman serta adik perempuanku, mereka berdiri di samping kedai paman. Saat itu paman membuka kedai di depan rumahku. Beberapa detik kemudian mak menyusul kami dari pintu dapur. Kami berlima berkumpul duduk di tanah samping kedai. Gempa semakin kuat, pokok kayu besar di depan kedai paman tumbang, akarnya sebesar knalpot honda menjuntai tercabut sempurna.

Saat itu kalimat memuji Allah saja yang keluar dari setiap mulut, aku melihat tetangga kami juga melakukan hal yang sama yakni berkumpul ke halaman rumah, termasuk anak gadis mereka yang seumuran denganku keluar tanpa memakai jilbab, semua panik karena goncangan tak kunjung reda meskipun sudah lama tetapi justru kian terasa lebih kuat.

Aku melihat beberapa anak kampung sebelah nekat bersepeda di jalan depan rumah jatuh ke aspal dan terguling seperti orang jatuh dari turunan lalu tertimpa sepeda ke badannya. Sepeda mereka ketika itu tipe sepeda gunung Polygon yang cukup prestisius di era kami yang rata-rata cuma sepeda BMX Johnson.

Aku tak ingat berapa lama durasi gempa itu, saat itu aku justru mengkhawatirkan antena UHF TV kami yang baru ayah belikan. Kalau sampai antena itu jatuh aku harus menonton tv siaran bersemut lagi.
Namun setelah gempa reda aku malah lupa pada antena tv itu karena si Mul, kawanku bermain bola setiap sore datang mengajakku melihat kerusakan gempa di pantai sana. Kata orang-orang dermaga tempat kami memancing rubuh total ke laut. Bawa uang 2000 ya nanti kita join main PS2 sejam berdua lepas lihat dermaga, langsung aku oke kan !

Aku menyambar sepeda BMX Johnson untuk ikut dengannya. Tapi duluan ketahuan Mak, aku dilarangnya pergi, si Mul pun urung pergi karena takut dilaporkan kepada maknya. Kalian habis bala gempa begini masih saja main-main. Kami seperti kena busted polisi bintang 5 di GTA San Andreans. Diam tak berkutik

Tiba-tiba uwak samping rumah memanggil kami, hei coba lihat air sungai ! Aku langsung ikut Ayah menuju tepi sungai yang tepat di belakang pemukiman kami dan kami sama-sama diam melihat apa yang terjadi.

Pernahkah anda masuk ke dalam bak kamar mandi yang airnya terisi penuh ? Dulu waktu saya masih kecil, bilal masjid kampung kami kerap mengizinkan kami main air kulah (sebutah bak air ukuran besar di Aceh) masjid ketika kulah hendak diganti airnya dan dibersihkan. Saat masuk ke bak yang penuh airnya itu maka air akan tergoncang keluar karena tekanan badan kita.

Begitulah lebih kurang pemandangan sungai yang kami lihat dari jarak 1 meter di depan mata. Seolah ada sesuatu yang besar baru saja menghempaskan badan ke dasar sungai sehingga air sungai terpercik tak karuan ke segala arah tepian.

Belum habis kami terdiam karena heran, uwak tadi berteriak lagi, kali ini ujung telunjuk tangannya mengarah pada arah hilir sungai, nampak beberapa sampan nelayan bergerak cepat dari hilir ke hulu…tapi ada yang aneh, sampan itu tanpa awak, tak ada mesin hidup, hanya perahu kosong namun melaju seperti kekuatan mesin turbo, dan…….bukan hanya satu tapi dua, tiga…belasan sudah perahu lewat kencang di hadapan kami yang masih terdiam, langkah kaki seolah sudah dihujamkan paku dan tak bisa bergerak. Kami hening padahal jarak aku dengan ayah dan uwak tak sampai dua meter.

Aku bisa mengenali pemilik dari beberapa perahu tersebut karena mereka kerap memberikan ungkot sure secara gratis pada kami yang bermain bola di pantai sepulang ia melaut.

Namun keadaan yang mengherankan ini berubah ketika air yang semula HANYA kencang membawa perahu menjadi gelombang tinggi. Nampak jelas pohon bakau dan pagar rumah lahan tetangga tepian sungai disapu gelombang air sungai ini. Masih terbayang sampai sekarang bagaimana sepokok pohon bakau tercabut dari tanah disapu gelombang lalu dibalikkan akarnya ke atas dan daunnya ke bawah sebelum lenyap ditarik ke tengah gelombang.

Aku masih terdiam ketika ayah menarik kuat tanganku untuk lari menjauh tepian sungai sementara gelombang hanya berjarak 10-15 meter lagi dari posisi kami. Aku ikut ayah berlari dan tak terpikir lagi untuk melihat apa yang terjadi di belakang.

Paman rupanya juga memperhatikan jauh dan sudah lari duluan mengambil motornya Yamaha Force One yang suaranya cukup nyentrik masa itu. Adik perempuanku lebih dulu naik membonceng pamanku, lalu aku naik dibelakangnya. Kata ayah kalian lari dulu, biar ayah dan mak menyusul dari belakang. Belum habis ayah berkata tarikan kopling Force One sudah selesai dan motor melaju membelah jalanan yang mulai sesak dipenuhi manusia, aku melihat tetanggaku ada yang berlari tanpa baju dan sandal, ada yang berusaha menghidupkan mobil namun istri dan anaknya sudah duluan lari dengan kaki. Ada yang menangis, ada yang hondanya menabrak pagar karena panik…sementara kami terus melaju

Paman mematikan motornya di persimpangan jalan, kopling tak ditekan sempurna sehingga terasa hentakan ketika motornya berhenti. Kalian tunggu di sini, itu ada bukit naik ke situ kalau air sampai ke sini. Paman jemput ayah dan mak. Aku dan adik mengiyakan, kami cemas karena pasti ayah dan mak sedang lari di belakang dalam kerumunan.

Kecemasan kian bertambah ketika melihat bukit yang paman tunjukkan itu dilingkari pagar kawat yang tingginya mencapai 3 meter karena bukit itu adalah lapangan olahraga sebuah perusahaan. Aku bisa memanjat pagar ini namun bagaimana dengan adikku ? Saat aku masih bergumam begitu sudah puluhan orang memanjatnya. Aku ingin mengajak adik segera menuju pagar..namun baru saja ingin kami menyeberangi jalan menuju bukit terdengar suara mak dan ayah memanggil nama kami. Aku tak bertanya bagaimana cara mereka bisa cepat sekali datang karena kehadiran mereka adalah esensinya dan beberapa detik kemudian paman tiba tepat di belakangnya.

Lalu kami menaiki mobil pick up. Kami melaju ke arah hulu, jalanan aspal terganti dengan jalanan setapak berbatu sampai jalanan bertanah lumpur. Aku tak fokus mendengar cerita di dalam mobil yang berisi 13-15 manusia itu. Sepanjang perjalanan aku mengingat apakah ini kiamat ? Aku baru saja membaca buku LKS IPS tadi pagi, ada materi air pasang disebut ESUNAMI, tapi aku tak paham karena materi itu belum sempat diajarkan di kelas.

Sesampai kampung, rupanya keluarga di kampung sudah mendengar kisah kami namun kabar masih simpang siur. Zaman itu tak ada medsos dan handphone pun adalah sebuah barang mewah yang hanya dimiliku oleh orang kaya. Di kampungku handphone hanya dimiliki oleh beberapa orang saja, dan sinyalnya hilang. Listrik mati, tak ada sumber informasi yang bisa kami terima saat itu dari luar.

Barulah keesokan hari aku mengetahui bahwa ini Tsunami setelah ayah mengantarkanku ke sekolah di kota. Sebenarnya aku tak lagi semangat untuk ikut ujian kala itu namun ayah sengaja pergi ke kota untuk mencari informasi dan kupikir apa salahnya kalau aku juga ikut. Rupanya gayung bersambut, di kota lah aku mengdapatkan berbagai cerita pilu dan melihat langsung video Tsunami pertama kali di saluran TV. Bait kepedihan lain juga nampak di sekitar sekolah yang dijadikan tempat mengungsi karena area pemukiman sekitar sekolah kami termasuk dataran tinggi terdekat dari kota. Tsunami tak pecah di kotaku, yang kulihat hanya lah imbas saja namun Tsunami kota pesisir kecamatan tetangga kami, beberapa kampung luluh lantak, pucuk pokok kelapa yang tersisa menguning berbulan-bulan lamanya karena terendam air tsunami. Ribuan manusia berpulang menghadap Allah, Tuhan seru sekalian alam,,,,,Alfatihah untuk seluruh korban.
##%@&####%@&####%@&####%@&####%@&##

Ternyata kata ESUNAMI yang ku temukan tadi pagi di buku lks langsung kulihat contohnya secara langsung !

##Lhokseumawe, 24 Desember 2019. Dua hari sebelum peringatan 15 tahun Tsunami Aceh.

(26 Desember 2004-26 Desember 2019)


Tinggalkan komentar